Hai superwoman!
Apa kabar?
Kali
ini saya mau coba sharing soal pemikiran saya, boleh?
Awalnya dikarenakan banyak sekali pertanyaan
ke saya atau ke beberapa teman saya yang sedang mempersiapkan pernikahan yang
menanyakan : “kenapa nikah cepat-cepat sih?” atau pertanyaan sejenisnya.. :)
Hmm.. dulu, saat saya di posisi mereka pun, saya ‘refleks’ bertanya hal yang sama
pada teman saya yang menikah di usia yang terbilang muda menurut saya.. sekitar
umur 21 saat itu.. dimana saya masih
berjuang untuk lulus kuliah, dan melihat teman saya sudah sibuk mempersiapkan
pernikahaannya.. saat itu masih teringat betul bagaimana takjub nya saya
melihat keyakinan teman saya tersebut untuk mulai menjalani hidup berumah
tangga.. walaupun tanpa harus ditanyakan kembali ke mereka, saya bisa ikut
merasakan betapa mereka sangat serasi dan siap lahir batin untuk menikah..
calon suami teman saya terbilang sudah dewasa dan mapan, dan teman saya
tersebut memang sudah sedari kecil mempunyai pemikiran dan gaya yang lebih
dewasa di banding teman sebaya kami.. jadi sudah hal yang wajar sebenarnya
kalau dia memutuskan menikah di umur yang terbilang muda.. tapi yaaaah tetap
saja, pertanyaan-pertanyaan “kenapa”, “kok bisa” dan lainnya terus mengalir..
hehe
Daan sekaraaaang.. saya berada di posisi
berbeda, di posisi teman saya tersebut walaupun bukan lagi di usia yang sama.. maka
saya sendiri punya sudut pandang yang berbeda lagi..
Saat kuliah, saya seperti anak kebanyakan
(rasanya).. kuliah, main bersama teman, kumpul bersama keluarga, atau pacaran..
walaupun pada akhirnya saya lebih memilih untuk fokus kuliah, aktif jadi
asisten lab jurusan atau asisten dosen dan lebih senang bersama teman-teman.. saya
menikmati hal itu.. planning saya saat itu (rasanya – again.) sudah sempurna
dan rapih. Lulus kuliah, saya ingin bekerja sekitar 2-3 tahun, mengambil S2,
lalu menikah (jika sudah berjodoh).. dan tentunya tetap menjadi wanita karir
setelah menikah.. yaaah standard, tapi saya menyusunnya berdasar skala
prioritas saya (saat itu).
Semua rencana saya masih tetap pada jalurnya
saat saya melamar pekerjaan, tapi kemudian berubah beberapa bulan berselang,
semenjak saya dikenalkan dengan Mr. G oleh sahabat saya..
Saya memang punya tekad untuk mempunyai
hubungan yang serius, tidak hanya sekedar pacaran..yaah singkatnya, saya
mencari calon Imam untuk keluarga saya nantinya.. tapi tidak pernah terpikir
akan secepat itu sih..
Awalnya sempat takut, karena saya paham
sekali, saat itu saya masih ingin menikmati dunia kerja yang baru saya masuki..
saya juga masih terlalu senang berada di sekeliling teman-teman saya..Saya
khawatir, saya belum bisa berbagi waktu antara pekerjaan, keluarga, teman dan
pacar.. tapi saya salut dengan semua pemikiran Mr. G yang akhirnya merubah
sudut pandang saya.. kedewasaannya, membuat saya yakin, bahwa hubungan kami
bukan sesuatu yang harus ditakuti untuk dimulai..
Kalau ditanya yang membuat saya yakin itu
apa, saya akan jawab : Mr. G dan orangtua saya.. yah karena kalau saat itu saya
bertemu dengan orang lain, mungkin saya tidak akan seyakin ini untuk menikah..
Pribadi dan pemikiran Mr. G – lah yang
membuat saya yakin.. lalu, orangtua saya.. Tidak ada yang bisa
menandingi feeling orangtua..
Naluri seorang Ibu itu ibaratnya sarat akan doa
dan restu, maka saya yakin sepenuhnya dengan apa yang Ibu saya bilang baik bagi
saya.. Firasat Ayah juga tidak kalah kuatnya, sejatinya dialah yang menjadi
pelindung bagi anak-anaknya.. Yang tau betul anaknya akan baik di tangan pria
seperti apa.. dan tentunya, beliau tidak akan sembarangan menyerahkan anaknya
kepada pria yang beliau tidak yakin akan bertanggung jawab.. Ayah saya itu
pribadinya keras dan tidak mudah percaya orang, walaupun beliau baik, tapi
beliau sangat waspada akan hal-hal demikian.. Duapuluh tahun lebih beliau
memberikan yang terbagi saya, maka saya yakin, beliau tidak akan membuat
usahanya sia-sia hanya karena salah memilih menantu.. Maka saya mengamini, saat
beliau merestui hubungi saya dan Mr. G..
Dan, kenapa cepat sekali prosesnya? Karena menurut
Mr. G, untuk apalagi ditunda kalau hanya akan menimbulkan fitnah? Dan kedua
keluarga kami pun sudah terlihat cocok dan tanpa hambatan saat proses
perkenalan.. jadiii..BISMILLAH saja! Hihi.. Apalagi orangtua saya sudah cukup
tua untuk ngemong cucu.. hehe..
Kata Mr. G, kalau terus dicari pasangan yang
cocok dan klop 100%, yah ga akan pernah ada habisnya.. mau ini dan itu, harus
bisa ini itu, pengenya yang begini begitu..tapi nantinya di saat kita di usia
tertentu, akan ada masanya semua kriteria yang kita jabarkan mengenai pasangan
ideal hanya akan tersisa 2-3 kriteria.. entah pasrah atau kepepet..hehe tapi
yah sifat dasar manusia tidak pernah puas, harus diimbangi dengan sifat lainnya
: pengertian.. Mengerti dan paham bahwa kita harus berusaha menyesuaikan
apa-apa yang tidak sesuai agar semuanya baik bagi semuanya.. Kita sendiri,
pasangan, keluarga dan terutama anak-anak kita nantinya.. kalau saya, saya merangkum semua kriteria yang
saya inginkan dan beririsan dengan pribadi Mr. G : menjadikan saya pribadi yang lebih baik..
yah sepertinya sesederhana itu yang saya peroleh dari hubungan saya dengan Mr.
G.. Jika tidak demikian, mungkin saya tidak ada di titik ini.. walaupun di
dalamnya, banyak A-Z proses yang kami lewati..
Tapi bukan berarti saya menyudutkan prioritas
orang lain, yang menjadikan pernikahan ada di list nomor sekian mereka.. Been
there! Saya pun sekarang harus menyusun ulang kembali skala prioritas saya
dalam hidup.. dan tentunya, S2 tetap saya masukkan di antaranya, walaupun
sekarang telah bergeser..
Intinya, jangan pernah takut dan
mempertanyakan “Saya ini kemana saja?”, saat melihat teman-teman kita banyak
yang telah menikah dan mempunyai anak.. Semua ada masanya, yang diperlukan itu keikhlasan..
Ikhlas saat harus sedikit menurunkan ambisi pekerjaan dan memulai membagi waktu
‘mencari’ pasangan hidup misalnya.. Atau ikhlas, saat yang ditemukan, adalah
pasangan yang tidak 100% sesuai keinginan, namun kita bisa menjadi pribadi yang
lebih baik saat bersama dia.. Oia, lebih banyak toleransi! Sama diri sendiri,
pasangan dan keluarga! Yang terberat adalah toleran sama ego diri sendiri..
Karena apa-apa yang diinginkan pasti lebih banyak yang subjektif jatuhnya..
Dan kalau sudah ada di titik persiapan
seperti sekarang, kata orang, pasti banyak ‘setan’ yang bikin kita
mempertanyakan lagi keputusan kita..
Bagi saya, selama itu bukan dari faktor orang tua dan keimanan, saya
rasa itu hanya ‘bumbu’ kecil.. jadi enjoy aja yaaa teman-temaan.. :) Bismillah, doa, sholat, dan tawakal J Insya Allah kalau memang ada yang ‘salah’
sama keputusan kita, pasti ada aja hambatan besar yang tidak bisa ditolerir.. asaaall,
jangan hal-hal kecil dibesar-besarkan yaaa.. :)
Hmm kira-kira demikian pemikiran saya.. maaf banyak dan tidak terstruktur rapi.. ngaliirr gitu ajaa..hehe
Goodluck preparationnya,
teman-teman!
Bismillah lancar!
With love,
.vidya anggita iskandar.